Fakta: Agustus Bulan Merdeka

Oleh: Andi SUWIRTA

Mahasiswa S3 by Research Pendidikan Sejarah SPs UPI di Bandung. Emel: suciandi@upi.edu

Sebuah kebetulan atau tidak, Agustus adalah bulan keramat bagi bangsa-bangsa di Asia Tenggara, khususnya bagi Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Malaysia, waktu namanya masih Persekutuan Tanah Melayu, mengisytiharkan kemerdekaannya pada 31 Agustus 1957. Manakala Singapura harus melepaskan diri dari negara Federasi Malaysia dan menyatakan kemerdekaannya pada 9 Agustus 1965. Jadi, bulan Agustus adalah hari-hari untuk merayakan kemerdekaan bagi 3 negara-bangsa di Asia Tenggara.

Jalan menuju kemerdekaan tiap negara-bangsa memang berbeda-beda. Indonesia harus menempuh jalan revolusi untuk memperoleh kemerdekaan dari kekuasaan penjajah Belanda. Malaysia menggunakan cara-cara diplomasi untuk meyakinkan pihak penjajah Inggris bahwa golongan Melayu, Cina, dan India bersedia untuk berkoalisi, mampu mengelola pemerintahan sendiri, dan siap menerima kemerdekaan. Manakala Singapura, yang didominasi oleh golongan Cina, harus berpisah dengan Malaysia, karena menolak dasar “Ketuanan Bangsa Melayu” dan lebih percaya pada ideologi “Malayan for Malaysia”, yang tidak membeda-bedakan antara satu golongan dengan golongan lainnya.

Sebuah kebetulan atau tidak, warna bendera kebangsaan bagi tiga negara tersebut (Indonesia, Malaysia, dan Singapura) juga hampir sama, yakni Sang Dwi Warna, Merah-Putih. Bedanya, Singapura menambahkan tanda “Bulan Bintang” pada bendera Merah-Putihnya. Manakala bendera UMNO (United Malays National Organization), partai politik dominan di Malaysia pada masa dan pasca kemerdekaan, adalah juga Merah-Putih, dengan tambahan gambar “Keris Tamingsari” – yang diyakini sebagai senjata keramat pemberian Mahapatih Gadjah Mada dari Majapahit kepada Laksamana Hang Tuah dari Malaka – di bagian tengah bendera tersebut.

Tokoh-tokoh “Bapak Kemerdekaan Bangsa” juga punya visi yang sama, dengan karakter yang berbeda. Soekarno, misalnya, mencita-citakan bangsa Indonesia yang maju, sejahtera, dan merdeka dari eksploitasi bangsa-bangsa asing. Tunku Abdurahman Putra menghendaki kehidupan yang harmoni, toleransi, dan sejahtera antara bangsa Melayu, Cina, India, serta bangsa-bangsa Bumiputra di Sarawak dan Sabah dalam negara Federasi Malaysia. Manakala Lee Kuan Yew menginginkan “Majulah Singapura”, sebuah negara kota dimana warga Cina, Melayu, dan India bisa bersatu dan hidup sejahtera.

Makna Merdeka

Namun, negara-bangsa yang merayakan kemerdekaannya di bulan Agustus, dalam perjalanan sejarahnya, pernah mengalami pasang-surut dalam hubungan bertetangga. Indonesia dan Malaysia pernah berkonfrontasi pada 1963 hingga 1966. Sebab utamanya adalah masalah beda tafsir dalam memaknai kata “merdeka”. Bagi Presiden Soekarno dari Indonesia, kata “merdeka” bermakna tidak hanya mampu BERDIKARI (Berdiri Diatas Kaki Sendiri), tetapi juga bebas dari bentuk penjajahan baru, atau NEKOLIM (Neo Kolonialisme dan Imperialisme).

Manakala bagi Tunku Abdul Rahman Putra dari Malaysia, kata “merdeka” bermakna hak berdaulat untuk menentukan nasib sendiri, tanpa campur tangan bangsa asing. Ketika Tunku Abdul Rahman Putra bersikap lunak kepada tuntutan pihak Indonesia dan Filipina, agar Hari Jadi Negara Federasi Malaysia diundur pada 16 September 1963 dan bukan pada 31 Agustus, sebagaimana Hari Kemerdekaan Persekutuan Tanah Melayu, maka Lee Kuan Yew dari Singapura mengkritik keras kepemimpinan Tunku Abdul Rahman Putra dan memandangnya sebagai pemimpin yang “belum berjiwa merdeka”, sehingga Singapura pun harus berpisah dengan Malaysia pada 9 Agustus 1965.

Konfrontasi yang melibatkan negara-negara serumpun di Asia Tenggara ini berakhir pada bulan Agustus 1966 juga, akibat adanya perubahan kekuasaan di negara-negara berkenaan. Presiden Soekarno harus menyerahkan kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto, akibat peristiwa G-30-S (Gerakan 30 September) 1965, yang membawa konflik politik hebat dan banyak memakan korban jiwa. Negara Filipina, yang menuntut Negeri Sabah dari Malaysia, juga mengalami pergantian kekuasaan dari Presiden Diasdado Macapagal kepada Ferdinand Marcos pada tahun 1966.

Pergantian kekuasaan juga akhirnya melanda Malaysia. Tunku Abdul Rahman Putra harus menghadapi peristiwa “Kerusuhan 13 Mei 1969” dan dianggap gagal membela nasib bangsa Melayu yang tertinggal bila dibandingkan dengan bangsa Cina di Malaysia. Tampuk kekuasaan pun harus diserahkan kepada Tun Abdul Razak.

Dengan semangat merdeka dan maknanya bagi negara masing-masing, pemimpin-pemimpin baru tersebut – Soeharto dari Indonesia, Tun Abdul Razak dari Malaysia, dan Lee Kuan Yew dari Singaura, serta tentu saja Ferdinand Marcos dari Filipina – berhasil menjalin hubungan kerjasama antar-negara bertetangga dengan baik, bahkan berjaya mendirikan organisasi regional yang stabil dan maju hingga sekarang, yakni ASEAN (Association of South-East Asian Nations) sejak tahun 1967.

Pada bulan Agustus 2021 ini – dimana Indonesia, Malaysia, dan Singapura merayakan Hari Kemerdekaannya masing-masing – telah terjadi perubahan dan kesinambungan kepemimpinan yang dinamis di Asia Tenggara. Kemerdekaan kini lebih dimaknai sebagai kolaborasi dan kompetisi yang sehat, bukan lagi konfrontasi dan konlfik politik yang merugikan bagi kemajuan, kesejahteraan, kedamaian, dan keamanan di negara-negara Asia Tenggara. [AS]

===

Keterangan: Artikel opini ini dibuat pada tanggal 22 Agustus 2018. Pernah dikirim ke Harian Pikiran Rakyat di Bandung, tapi tidak dimuat, dengan alasan waktu yang telalu berdekatan dengan pemuatan artikel opini saya yang berjudul “Presiden Kabur!?” (PR, 20/08/2021)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *